DaruHIko Kururu

Senin, 21 Maret 2011

KARANGAN BADAR


NAMA                        : AHMAD BADARUDIN
NIM                             : 2010 112 094
SEMESTER/ SKS      : II C / 2
MATA KULIAH         : MENULIS LANJUT
DOSEN PENGASUH : DIAN NUZULIA, S.Pd.
MATERI TUGAS II   : MEMBUAT KARANGAN DESKRIPSI
TEMA                         : MENCERITAKAN SUATU KEJADIAN ATAU SUATU
  PERISTIWA, SUATU BENDA, TEMPAT ATAU ORANG
JUDUL                       :
Text Box: D       MATI ?
inginnya subuh kala itu, seakan meremukkan semua tulang di tubuhku, tapi aku harus segera bergegas dan bersiap untuk menuju Palembang, karena liburan akhir semester telah berakhir. Hawa dingin di sekitar membuat semua nafas yang keluar dari mulutku seperti embun yang mengepul. Karbon dioksida yang keluar mengepul dengan hangatnya. Di KOREM Asrama Tentara atau yang biasa dikenal dengan Kompi Markas 144 Curup. Aku berlibur di sana untuk satu minggu penuh menghilangkan rasa penatku yang telah bertumpuk tak karuan dan tak tertahankan.
“Mbak Karlina, aku berangkat dulu ya. Ntar aku ke sini lagi buat liburan.” Pamitku pada kakak perempuanku sambil bicara menggigil kedinginan.
“Iya, hati-hati, jangan tidur di kereta api, nanti barang-barangmu hilang.” Balasnya sambil menasehati agar aku waspada tentunya dengan memberikan uang jajan agar aku tidak kelaparan selama di perjalanan.
Aku pun pamit dan menuju rumah Pak Marjan, sopir mobil yang akan mengantarkanku dari Curup sampai ke Stasiun Linggau yang telah aku pesan sebelumnya. Pak Marjan sebenarnya adalah seorang tentara. Tapi dia mencari seseran.uang sampingan.dengan menjadi sopir mobil travel jurusan Curup-Linggau. Tentunya penghasilannya banyak tapi dia harus melapor kepada komandannya dan membuat surat perjanjian bahwa dua puluh persen penghasilannya harus diberikan pada komandan, itu yang ku dengar. Tapi bukan masalah, karena menurutku penghasilannya tetap jadi banyak, ditambah uang gajinya menjadi tentara tetap ada.
“Dek, nanti ya, tak panaskan dulu mesin mobilnya. Bentar lagi kita berangkat.” Sapanya kepadaku dengan dialek jawanya yang masih kental terdengar.
“Oh, iya Pak De, gak apa.” Jawabku sambil duduk di teras rumahnya yang dingin seperti balok es.
Tidak lama kemudian, akhirnya aku berangkat. Naik mobil tipe L300 berwarna putih yang kelihatannya sudah agak tua tapi mesinnya terdengar halus. Aku pun duduk di depan di sebelah Pak Marjan. Kami tidak langsung menuju Linggau tapi kami harus menjemput para penumpang yang telah memesan sebelumnya terlebih dahulu. Setelah itu lengkaplah sudah! Semua orang yang duduk di dalam mobil berjumlah sembilan orang. Lima orang laki-laki dan empat orang perempuan. Yang duduk di sebelahku adalah seorang ibu dengan anak perempuannya yang masih balita. Posisiku menjadi agak tersingkir dan berubah, duduk di antara ibu dan pak sopir. Apalagi dengan katup AC mobil yang terbuka, membuat aku menggigil kedinginan, tapi langsung ditutup Pak Marjan, ternyata ia juga merasa kedinginan.
Kami tidak langsung pergi, tapi Pak Marjan tiba-tiba memberhentikan mobilnya. Ternyata kami mampir dulu di Pasar Atas.
“Maaf ya, sebentar. Gak lama…” Dengan senyum yang ramah lalu keluar dari mobil.
Kami pun terpaksa harus menunggu sejenak. Lalu Pak Marjan datang. Tenyata ia membeli dua bungkus permen KOPIKO untuk para penumpang agar tidak merasa ngantuk dan bosan. Sopir yang baik. Kami pun melanjutkan perjalanan. Jauh jarak antara Curup menuju Linggau kira-kira dua jam lebih. Lama, tapi menyenangkan, karena panorama alam yang indah. Semua indah dan menakjubkan. Bukit-bukit yang tinggi, perkebunan cabe dan stroberi, beserta sayur-mayur yang tumbuh subur dan masih banyak yang lain. Apalagi persawahan yang begitu subur. Sungguh sangat nikmat di pandang mata. Wajar saja kalau Curup tempat yang paling tepat untuk beristirahat dan berlibur. Belum lagi di tambah dengan tempat pemandian air hangat dan air terjun yang nyaman dan indah. Membuat aku ketagihan dan puas berlibur di Kota Curup.
Jam 07.30. para penumpang di dalam mobil sibuk mengobrol. Aku hanya diam dan pemandangan mataku selalu menuju keluar memperhatikan pemandangan dan jalan yang berliku-liku tajam. Dari arah yang berlawanan, mobil Avanza berwarna hitam melaju dengan kencang. Pak Marjan megendarai mobilnya dengan santai. Tapi tiba-tiba dari belakang mobil Avanza muncul anak SMA bertubuh gemuk yang mengendari motor Beat berwarna hitam memotong mobil dan melaju dengan kencang mengambil jalur ke arah tengah. Tapi…
“DUAAAR….!!!”
“Woy…! Bocah edan…!” Teriak Pak Marjan.
Motor anak SMA itu menabrak sisi samping mobil kami. Pak Marjan langsung berhenti dan bergegas turun, karena ban mobil depan terasa telah pecah. Semua penumpang kaget termasuk aku yang paling duduk di depan menyaksikan kejadiannya. Pak Marjan langsung mengejar anak SMA itu. Aku pun ikut turun dan mengejarnya. Terlihat aspal jalan telah hitam panas bekas ban motor yang mengesot. Motornya telah terguling hancur dan lampu motor beserta spion motor hancur entah kemana. Lalu dimana bocah itu? Tanyaku dalam hati. Ternyata bocah itu telah terlempar sejauh lima belas meter terlempar ke- luar jalur jalan. Bocah itu tidak bergerak. Kaku, apakah ia mati? Hatiku bertanya-tanya bergetar ku rasa. Lalu datang para warga bergerombol menyaksikan peristiwa itu. Beberapa warga mengangkat tubuh bocah itu dengan tubuhnya yang tak bisa bergerak dan kaki kanan dan tangan kirinya terlihat patah, bajunya berlumuran darah dan tanah.
Pak Marjan langsung menyuruh warga di sana untuk menahan motornya dan membawa bocah itu kerumah sakit terdekat. Ternyata bocah itu pingsan. Untunglah. Pak Marjan dengan tangan gemetaran menelpon anaknya di rumah untuk segera ke tempat kejadian menyuruhnya menyelesaikan masalah kejadian tadi. Jelas Pak Marjan tidak bisa menyelesaikan masalah itu sekarang, karena, dia harus mengantar kami ke stasiun. Kami, para penumpang hanya cemas, terlihat Pak Marjan memandangi mobil L300nya yang rusak. Lampu sen sebelah kanannya hancur, spion kacanya pun rusak dan parahnya mobil ban yang tebal itu dapat pecah dan berlubang besar. Pak Marjan hanya geleng-geleng kepala.
“Dasar bocah edan…! Aduh mobilku, rugi aku.” Keluhnya.
Kami pun membantu Pak Marjan memperbaiki ban mobilnya, sementara Pak Marjan mengambil ban serep di belakang bagasi mobil. Kami segera memasangnya dan setelah beberapa menit, akhirnya selesai. Ketegangan mulai agak meredah. Pak Marjan menyuruh kami untuk segera naik mobil dan segera berangkat.
“Maaf ya, tadi ada sedikit ketidak nyamanan. Mudah-mudahan gak terjadi apa-apa lagi. Sekarang kita bisa berangkat lagi.” Ujarnya sambil tersenyum kepada para penumpang.
“Pak De, jangan ngebut Pak De, saya takut.” Ujar ibu yang duduk di belakang.
“iya, kita bakal santai saja melajunya.” Balasnya dengan tersenyum.
Ibu yang duduk di sebelahku kini pindah duduk di belakang, karena anaknya menangis ketakutan. Ya syukurlah, aku juga berterima kasih kepada ibu itu, karena ada kelonggaran tempat duduk. Kami belum melanjutkan perjalanan, tapi kami melapor dulu ke kantor polisi atas kejadian yang telah terjadi. Lalu barulah kami melanjutkan perjalanan kembali. Pak Marjan menghidupkan I-Pod  yang disambungnya di mobil dengan menyetel lagu-lagu tembang kenangan. Oh… lirih hatiku mendengarnya.
Pukul 09.05, kami akhirnya kami sampai di Stasiun Linggau, aku turun dan segera membeli tiket kereta lalu mencari gerbong kereta sesuai tiket kereta. Terduduk aku tentang kejadian kecelakaan yang telah terjadi. Ku pikir bocah itu telah mati. Dan ku pikir di dalam kereta. Menghela nafas panjang sepanjang-panjangnya dan berpikir panjang kami bakal terkena dampak yang besar. Pasti celakalah aku. Andai bocah itu melaju dan menabrak di tengah-tengah mobil kami, tak tau bakal apa yang akan terjadi. Mungkin aku bakal mati…! Aku pun berdoa kepada Allah SWT. Semoga tiada bala bencana dan mala petaka selama perjalanan ini. Amin. Kereta mulai melaju, dengan para penumpang yang tak ku kenal di dalamnya aku hanya diam memandang keluar jendela berharap penuh untuk selamat.



mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar